Kamis, 26 April 2018

UPACARA NGABEN

Kembali lagi ke blog pribadi saya.
Semua orang akan mengalami kematian, namun waktunya yang berbeda-beda.



Kematian adalah sebuah perpindahan dari satu struktur kehidupan dunia menuju ke struktur kehidupan lainnya yang akan datang. Kematian juga dapat diibaratkan seperti mengganti pakaian yang sudah lama dengan pakaian yang baru. Ritual kematian adalah suatu kegiatan yang dilakukan oleh manusia sebagai penanda bahwa manusia itu adalah mahluk beragama dan berbudaya. Penyelenggaraan upacara kematian merupakan sesuatu yang sakral dan sangat memperngaruhi kehidupan manusia dan ritual kematian diselenggarakan guna tercipta kehidupan masyarakat yang seimbang selaras.
Hal ini juga sama seperti Upacara Ngaben yang di laksanakan umat Hindu-Bali yang juga masuk dalam Upacara Pitra yadya, upacara yang ditunjukan kepada leluhur. Kata Ngaben sendiri berasal dari kata api.  Penggunaan peralatan dan prosesi yang cukup panjang dan membutuhkan biaya yang cukup besar (150-200 juta rupiah) menandakan betapa pentingnya proses peralihan kehidupan sampai kematian.
Upacara Ngaben sendiri memiliki beberapa ritual, yang sangat unik dan memiliki banyak makna, yaitu :
  1. Ritual Ngulapin :
Ritual Ngulapin adalah proses penyucian peti yang berisi jenazah yang dilakukan oleh Pinandita.
  1. Ritual Memandikan Jenazah :
Jenazah diletakan diatas pepaga (meja) kemudian dimandikan oleh keluarganya. Dalam proses ini kemaluan jenazah akan ditutupi oleh kain hitam, sementara bajunya akan dibuka. Kemudian kain hitam sebagai penutup kemaluan akan di ganti dengan daun teratai (bagi wanita) dan daun terong (bagi laki-laki) dan akan dipakaikan pakaiaan adat lengkap. Diberikan bunga melati di lubang hidung, belahan kaca di atas mata, dan daun intaran di alis. Dengan tujuan mengembalukan kembali fungsi bagian dari tubuh dan jika roh mengalami reinkarnasi agar dianugrahi badan yang lengkap. Upacara memandikan jenazah ini dilakukan di halaman rumah keluarga.
  1. Ritual Narpana :
Setelah jenazah dimandikan, jenazah akan dimasukan keadalam peti. Petugas rohaniwan akan melaksanakan Narpana. Keluarga akan memercikan tirta : penglukatan, pembersihan tirta khayangan. Kemudian dilanjutkan dengan mamasukan barang-barang yang akan ikut dibakar, dan kemudian peti akan ditutup.
  1. Ritual Pakiriman Ngutang :
Jenazah yang ada di dalam peti kemudian dinaikan katas Bade, yaitu menara penyusung jenazah diiringi dengan suara Baleganjur (gong khas Bali). Dalam perjalan menuju ke tempat pembakaran Bade akan di arak berputar tiga kali berlawanan arah jarum jam, yang memiliki makna sebagai simbol pengembalian unsur panca Maha Bhuta ketempatnya masing-masing. Perputaran ini berarti perpisahan dengan keluarga, lingkungan masyarakat, dan dunia ini.
  1. Ritual Ngising :
Ngising adalah acara puncak dari Upacara Ngaben, yaitu pembakaran jenazah. Jenazah akan dibaringkan ditempat yang disediakan, disertai sesaji kemudian diperciki oleh pendeta pemimpin upacara dengan Tirta Pengentas yang bertindak sebagai api abstrak diiringi dengan Puja Mantra dari pendeta. Setelah selesai  barulah jenazah dibakar hingga hangus, tulang-tulang hasil pembakaran kemudian diulek (digilas)  dan dirangkai lagi dalam buah kelapa gading yang telah dikeluarkan airnya.
  1. Ritual Ngayud :
Ritual terakhir dari Upacara Ngaben adalah Ngayud, yaitu menghanyutkan abu yang sudah dimasukan ke dalam kelapa gading ke laut atau ke sungai. Yang memiliki makna menghanyutkan segala kekotoran yang tertinggal dalam roh.
Serangkaian ritual yang ada pada Upacara Ngaben juga memiliki beberapa arti, yaitu sebagai jalan agar bisa melaksanaan pembayaan hutang terhadap leluhur (Pitra Rina) yang wajib dilakukan oleh seorang anak dari hasil kerjanya sendiri bukan dengan harta warisan dari orang tuanya. Yang kedua adalah  agar memiliki kesempatan untuk bisa melaksanakan ajaran Putra Sesana dan Aji Sesana, sehingga dapat melahirkan anak yang Suputra dan Aji Sadhu Dharma percepatan proses pengembalian “Panca Maha Bhuta” kepada sang Hyang Prakerti, Maya Sang Hyang Widhi. Yang terakhir memberi kesempatan pada masyarakat sekitar lingkungannya unruk berkama yang baik, sehingga tercipta masyarakat sosial yang sesuai ajaran Tri Hitakarana.



Sekian dulu ya..

NGELAWANG BARONG


Hallo kawan...
Hari Raya Galungan dan Kuningan uda dekat nih, biasanya Galungan dan Kuningan identik dengan ngelawang barong.





Ngelawang adalah salah satu ritual tolak bala yang dilakukan oleh umat Hindu di Bali, Indonesia. Ngelawang dilakukan oleh sekelompok anak-anak dengan mengarak barong keliling desa dan diiringi dengan gamelan. Ngelawang merupakan tradisi dalam merayakan Hari Raya Galungan dan Hari Raya Kuningan di Bali. Ngelawang berasal dari kata lawang (pintu) yang berarti Ngelawang merupakan pementasan yang dilakukan dari rumah ke rumah maupun dari desa ke desa dengan menggunakan barong bangkung (barong berupa sosok babi). Tradisi ini bertujuan untuk mengusir roh-roh jahat dan melindungi penduduk dari wabah atau penyakit yang diakibatkan oleh roh-roh (bhuta kala). Pada saat berlangsung Ngelawang, para pemilik rumah akan memberikan uang sebagai haturan.






Sekian dulu ya..

TAWUR AGUNG EKA DASA RUDRA





Eka Dasa Rudra (Ludra) adalah upacara yang dilaksanakan untuk menyambut perhitungan perputaran tahun saka saat satuan dan puluhan mulai menjadi angka 1 (satu).

Karya agung terbesar di Bali ini, dalam Rudra Tattwa disebutkan ditujukan untuk kekuasaan Tuhan yang tidak terbatas dan meresapi segala ciptaanNya agar keharmonisan bhuwana agung dan bhuwana alit sebagai aplikasi dari filosofi Tri Hita Karana.



Dalam perayaannya di Pura Agung Besakih, Eka Dasa Rudra dilaksanakan setiap 100 tahun sekali manakala angka satuan dan puluhan tahun saka mencapai angka 0, disebut pula rah windu tenggek windu.

Dalam catatan di Di Pura Agung Besakih, Tawur Agung Eka Dasa Rudra pernah dilaksanakan tahun 1963, tepatnya pada Sukra Pon Julungwangi tanggal 9 Maret 1963.



Tahun 1979, pada Buda Paing Wariga tanggal 28 Maret 1979, kembali diselenggarakan upacara Tawur Agung Eka Dasa Rudra. Upacara Tawur Eka Dasa Rudra 1979 ini sesuai dengan perhitungan perputaran tahun Saka saat satuan dan puluhan mencapai angka nol, yaitu pada tahun Saka 1900.



Rangkaian (dudonan) prosesi Tawur Agung Eka Dasa Rudra dilaksanakan dengan berpedoman pada sumber sastra yang ada disertai berbagai kajian para Sulinggih terhadap tata laksana yadnya

Tawur. Pelaksanaan upacara diawali dengan Matur Piuning, Nuwasen Karya, Nuwur Tirtha, Melasti hingga puncak Karya Agung.

Dengan waktu pelaksanaan yang berhimpitan dengan Sasih Kadasa (puncak Tawur Eka Dasa Rudra dilaksanakan pada Tilem Kasanga),

Pada pelaksanaan Eka Dasa Rudra 1979 dilanjutkan dengan upacara tahunan Bhatara Turun Kabeh pada Purnama Kadasa.

Sebagai tambahan, disebutkan pula dalam Babad Usana Bali Pulina, setelah Sri Jaya Kasunu wafat, Beliau digantikan oleh putranya yang bergelar Sri Jaya Pangus. Pada masa pemerintahan Beliau inilah dilaksanakan upacara Tawur Eka Dasa Rudra.



Ekadasa Rudra menjadi upacara agama umat Hindu terbesar. Karena itu harus dilakukan dipura terbesar dan sementara ini menurut catatan sejarah yang ada baru hanya pernah dilakukan di Pura Besakih.

Bencana alam dan sosial diacu sebagai pertimbangan untuk perlunya penyelenggaraan upacara ini. Tetapi memiliki batasan penggunaan acuan tersebut dengan penetapan waktu yang berdasarkan setiap sepuluh atau seratus tahun atau bahkan ada sebagian pendapat yang memandang tanpa adanya interval waktu, dengan mengacu pada perlunya penyelanggaraan bila telah terjadi bencana besar, berkepanjangan dan memakan korban dan kerugian sangat besar.

Ritual ini dikenal dengan nama Eka Dasa Rudra (pemujaan terhadap 11 Kala Rudra, yang menguasai bhuta/kala di setiap arah penjuru angin). Tujuan ritual ini adalah memohon keseimbangan jagat dengan tujuan untuk menjauhkan manusia dari bencana dan memberikan kesejahteraan.



Eka Dasa Rudra adalah serangkaian upacara besar yang memakan waktu lebih dari 2 bulan untuk menuntaskannya. Dari rangkaian ritual tersebut yang menjadi bagian terpenting adalah Tawur Eka Dasa Rudra, dalam konteks ini Yadnya/bhakti (sesaji) ditujukan kepada kesebelas butha wujud Kala Rudra ~ bukan untuk pemujaan pada Hyang Rudra, agar tidak mengganggu keseimbangan alam.

Meskipun Ritual Eka Dasa Rudra sudah ada diperkenalkan pada jaman sejarah kerajaan Bali Kuna, upacara ini kembali ditata ulang oleh Danghyang Nirartha pada masa kebudayaan Majapahit di Bali, di saat berkuasanya Dalem Waturenggong, raja kerajaan Gelgel.

Upacara Eka Dasa Rudra selanjutnya akan dilaksanakan kira-kira 60 tahun lagi, yaitu pada tahun Çaka 2000.